About Me;

Foto saya
an ordinary girl with an extraordinary heart.

Jumat, 15 Juli 2016

Siapa Bilang Cowok Cewek Gak Bisa Sahabatan?

Part 1 _ Pertemuan

Ini cerita tentang persahabatan gue sama Alvin_cowok yang umurnya satu tahun lebih tua dari gue, tapi sama sekali nggak bersifat lebih dewasa dari gue. Gue udah lama banget kenal sama si curut satu ini, saking lamanya mungkin orang yang baru nikah bisa sampe punya cucu sedangkan kita masih sahabatan. But that’s  friendship goal. Yeah.

Waktu itu gue usia gue masih sekitar 11 tahun dan gue duduk dikelas 6 SD. Gue jadi peserta lomba kaligrafi di salah satu sekolah menengah pertama Islam di daerah tempat gue tinggal. Gue inget gue selesai paling cepet dalam satu ruangan itu, gue menyapu pandangan sambil memperhatiin hal-hal yang nggak penting. Dari situ gue tau kalo tepat disebelah pengawas lomba ada seorang anak laki-laki berseragam  dan memakai tag nama yang menggantung di lehernya. Gue simpulin kalo dia pasti tergabung dalam OSIS atau semacamnya sehingga dia bertugas untuk membantu panitia lomba dalam hal-hal ringan seperti mengisi absen, nyediain snack atau dalam bahasa belandanya, kacung…

Anak laki-laki yang duduk disebelah pengawas lomba tadi semacam punya daya tarik untuk diperhatiin yang gue sendiri nggak tau apa. Padahal sewaktu gue liat, anak ini lagi bengong dengan muka bego sambil mengayun-ayunkan kakinya di bawah meja.
Beberapa menit kemudian, batas waktu lomba yang gue ikutin pun selesai. Gue lihat Ana ( temen gue yang ikut lomba lain ) berdiri nyengir di samping pintu nungguin gue. Gue hendak nyamperin dia sebelum akhirnya gue memutuskan untuk bertanya pada anak laki-laki tadi yang tiba-tiba udah jalan nyebelahin gue.


“Mas, mas, ini pengumumannya jam berapa ya?“ Tanya gue selayaknya anak SD_lugu. Lugu-lugu bathok.

Gue liat dia berkerut sebentar, “Ehm.. nggak tau“ kata dia sambil menggeleng. “Ntar aku tanyain ke juri ya“ lanjutnya.

Gue reflek ngeledek, “Yee gimana sih. Masa yang bikin lomba nggak tau huu“

“Ho’oh masa ngga tau. Aa.. dasar juri abal-abal“ sambung Ana yang ternyata juga nyimak.
Merasa terpojok diserang dua anak SD, si anak laki-laki ini jadi sewot. “Eh dasar anak kecil berani nyolot“ gue liat dia sedang berusaha menusukkan ujung pulpennya ke tangan gue dan Ana.

Sewajarnya anak kecil yang di serang, kita lari menjauh sambil ketawa. Dan sambil nulis ini, gue jadi kangen masa-masa dimana ‘masalah terberat hanyalah PR Matermatika’.


***


Gue nggak pernah berharap untuk tergabung dalam OSIS di sekolah gue dan sama sekali nggak berminat untuk terlibat dalam kepanitiaan lomba yang diadain sekolah gue. Ini semua berawal dari kesialan gue bolos pelajaran matematika beberapa minggu yang lalu dan hampir aja ketangkep guru BP kalo aja gue nggak bohong harus menghadiri rapat OSIS. Dengan cerita yang rumit, pada akhirnya gue resmi jadi anggota OSIS di sekolah gue. Ini kampret.

Gue hampir mati saking bosannya duduk di ruangan untuk mengawasi lomba kaligrafi selama satu jam penuh. Tapi di menit-menit terakhir mengawasi, gue berhasil mendapatkan momen yang menghilangkan rasa bosan gue. Seorang anak perempuan yang duduk pada baris ketiga tepat di depan gue, celingukan kesana kemari dengan ekspresi yang nggak bisa dijelasin. Dengan tingkahnya itu, rambut panjang sebahu yang dibiarkan terurai dengan satu jepit di atas telinga kirinya jadi berantakan alami. Entah kenapa gue suka liatnya. Tapi nggak lama, dia beralih pandang ke gue yang nggak sadar dari tadi ngeliatin tingkahnya. Dengan cepat gue memutar bola mata ke atas, gue buat seakan-akan gue lagi ngelamun. Oke, tunggu, kenapa jadi gue yang salah tingkah?


***


Dua jam kemudian, gue duduk di tengah-tengah lapangan bersama ratusan peserta lomba lainnya menyaksikan beberapa anak yang berdiri di atas panggung dan membawa piala. Iya, gue bukan bagian dari juara tapi gue nggak masalah dengan hal itu. Gue masih terlalu kecil untuk mengerti bagaimana rasanya kecewa.

Dan setelah cukup puas melihat para juara mengangkat pialanya di atas panggung, gue ditemani guru pendamping gue pergi menuju tempat pengambilan piagam peserta. Gue merekam momen dimana guru gue bersalaman dan bercakap-cakap ringan dengan seorang guru lain sebagai panitia yang bertugas membagi piagam peserta tersebut. Gue hanya diam tanpa benar-benar mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Sampai pada satu kalimat yang terlontar berhasil membuat gue mendongak untuk melihat siapa yang barusan bicara.

“Nggak apa-apa, Pak. Bagus kan dari kecil udah ikut lomba, jadi buat pengalaman” kata suara itu.

Bukan inti dari kalimat yang lazim diucapkan untuk seorang “loser” yang gue perhatikan, tapi kata-kata itu diucapkan oleh seorang anak laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Bapak panitia tadi. Ya, itu anak laki-laki yang beberapa jam tadi berusaha melakukan tindakan kekerasan ke gue. Gue mundur beberapa langkah ke belakang guru gue untuk mencari perlindungan. Bisa ajakan dia cuma modus dan menyerang gue dari belakang?

“Hahaha iya. Yang penting pengalaman ya mas” kata guru gue menanggapi. Gue liat si anak laki-laki tadi tersenyum lebar ke guru gue dan dengan hitungan detik berpaling mengernyit ke gue sambil menjulurkan lidah singkat. Gue semakin bersembunyi dibalik badan guru gue. Buset ini orang muke due, kata gue dalam hati.

Dan seperti itulah pertemuan pertama gue dengan Alvin. Bukan cerita tentang dua anak kecil yang berkenalan dan main sepeda bareng. Tapi ya cuma gitu aja, udah. Gue nggak pernah berharap bakal ketemu lagi sama dia.


***


“Vin, ini duit kembalian fotokopi kata Pak Sindu boleh buat kita!” Doni berseru nyamperin gue sambil ngibas-ngibasin duit sepuluh ribuan di tangannya. Sekilas ekspresinya mirip onta nyengir kegirangan.

“Sini bagi buat ngisi saldo game gue” kata gue malas-malasan.

Hari itu terlalu panas untuk bersemangat dan beberapa mata pelajaran yang ada dijadwal semakin bikin hilang mood. “Ah lu mah game terus. Kita beli makan yuk. Apa ya…hmm” gue liat Doni agak berpikir sebentar. “Beli berger yuk, Vin!” serunya kemudian.

Karna Doni ngeliat gue masih diem aja ngadepin gamebot di tangan, akhirnya Doni berusaha narik tangan gue. “Ayoo, Viiinn.. Keburu kelar jam istirahatnya”. Gue belum juga bangkit dari singgasana gue, “Males, Don. Panas. Emang mau beli berger dimana? Di kantin nggak ada”.

“Kita keluar aja, naek motor. Yuk” Doni masih berusaha narik gue buat berdiri.

“Dimana sih. Yang deket aja kenape”

“Itu, di depan SD Teratai ( nama disamarkan ). Gue sama Viky pernah beli disitu ada, deketkan”

Mendengar nama SD Teratai disebut, gue langsung bangkit. “Ayok” balas gue kemudian.  Sekilas Doni kebingungan ngeliatin gue, tapi gue yakin ia segera mengabaikan itu karna motivasinya buat beli berger tercapai.

Hampir 10 menit gue terus-terusan ngawasin gerbang SD Teratai tepat di seberang gue dan Doni lagi antri beli berger. Kenapa nggak keluar-keluar padahal sedari tadi anak kelas VI udah pada seliweran pulang, kata gue dalam hati. Gue yakin dari piagam peserta yang gue liat kemaren anak perempuan itu sekolah di sini.


***


“Eh, Bil. Kayaknya kita pernah liat mas-mas itu deh. Dimana ya?” celetuk Ana sewaktu gue sama dia berdiri di depan gerbang sekolah untuk menunggu orang tua kita masing-masing yang akan jemput.

Gue memandang orang yang ditunjuk Ana di seberang jalan. Itu si anak laki-laki yang tempo hari ada di lomba yang gue dan Ana ikutin. Dia sama seorang temennya, masih memakai seragam sekolah.
Sewaktu gue liat, dia lagi duduk di atas motor dan temennya berdiri nggak jauh dari situ_antri beli burger. Entah perasaan gue aja waktu itu atau emang beneran iya, anak laki-laki itu ngeliatin gue agak lama. Gue berkerut sebentar.

“Oh ya!” seru gue ke Ana. “Itukan mas-mas yang mau nusukin kita pake pulpen, waktu kita lomba kemareeen”. Ana balas berseru, “Ah iya, bener-bener. Tapi kok agak beda gitu ya..” dan Ana menggumam sesuatu yang nggak gue denger dengan jelas karna gue masih yakin kalo anak laki-laki itu masih curi-curi pandang ke gue.

Beberapa menit kemudian anak laki-laki dan temennya itu berlalu dengan motornya bersamaan dengan Ana yang balik duluan ninggalin gue. Perlahan suasana sekolah mulai sepi, dan kayaknya yang jemput gue bakal telat lagi. Kalo hal ini terjadi gue berjalan kaki menuju sebuah tempat duduk kayu di bawah pohon yang nggak jauh dari sekolah gue. Gue suka duduk di situ menikmati angin dan melihat kendaraan yang melintas sampe jemputan gue dateng. Kalo adegan ini sebuah film maka mirip seperti film My Heart the Series yang dimainkan oleh Yuki Kato kecil.

Gue baru aja mulai tenggelam dalam lamunan ketika sebuah motor tiba-tiba berhenti di depan tempat gue duduk dan seseorang berseru dari balik helm, “Woi, ngapain sendirian di situ?”

Suaranya udah lumayan jelas kedengeran, tapi waktu itu gue nggak diijinkan ngomong sama orang asing sehingga gue hanya diam aja. Orang itu membuka helmnya dihadapan gue. Dan kalo di slow motion maka akan terlihat potongan ekspresi gue yang melongo kek kecebong puber dan seorang anak laki-laki yang mengibas rambutnya yang jatuh rapi mengitari dahi. Dalam momen ini, pertama kali gue menyadari kalo Alvin itu ganteng..

“Ngapain woi sendirian di sini?” dia mengulang seruannya dan menyadarkan gue yang hampir aja kehipnotis sama pesonanya. Gile, gue terlalu cepat aqil balik.

“Nunggu di jemput lah” bales gue berusaha stay cool padahal sebenernya masih kaget dia ada di depan gue.

Dia memeluk helmnya asal dan berkata lagi ke gue, “Tau nggak..” suaranya dipelanin. “Kemaren ada berita kalo anak kecil yang duduk sendirian di sini dibawa kabur sama bapak-karung” dia berusaha menakut-nakutin.

Dan karna emang gue seorang anak kecil yang polos (baca: penakut), gue langsung merinding percaya aja sama omongannya barusan.

“Masa sih” gue (masih) berusaha stay cool. Tapi gue yakin ekspresi gue nggak bisa nutupin kalo sebenernya rasa takut datang menyelimuti.

“Yee dia nggak percaya” katanya. Badannya agak dicondongkan lebih deket ke gue tapi tetep duduk di atas motornya. “Nggak taukan kalo bapak-bapak karung itu suka anak kecil yang duduk sendirian? Kalo malem dia jadi monster terus anak-anak yang diculik itu dimakan sama dia” dia meringis berusaha menakut-nakuti. Dan emang karna gue cemen, gue makin takut. Gue reflek berdiri dan menggenggam kedua tali tas ransel dengan erat.

“Kalo gitu kamu temenin aku dong biar aku nggak sendirian!” gue berseru sok galak, pertanda anak kecil sedang takut.

“Dih” dia mengangkat kedua bahunya. “Ogah”

Gue hanya bisa berdiri diam sambil memperhatikan dia memakai helmnya kembali dan menstarter motornya. “Daah ati-ati ya sama bapak-karuuung” ledeknya sebelum berlalu. Gue berdiri terpaku di sana, diem nggak ngapa-ngapain. Waktu kecil, kalo gue saking takutnya justru nggak bisa ngapa-ngapain. Gue cuma bisa diem sambil berharap ada tinker bell yang bisa bawa gue terbang. Gue nggak ingat, berapa lama gue berdiri diem di situ sampe akhirnya gue dijemput. Yang gue ingat, nggak ada satupun bapak-bapak lewat bawa karung buat nyulik anak kecil cemen kayak gue.


***


Gue tersenyum puas dari balik kaca helm setelah sedari tadi gue tahan begitu ngeliat ekspresinya yang ketakutan. Emang dasar anak kecil, gampang banget dikibulin. Gue melaju perlahan biar bisa ngeliat dia dari kaca spion motor gue. Semakin jauh, gue justru semakin ngerasa bersalah. Anak itu masih nggak beranjak dari tempatnya dan berdiri mematung di sana.

Tanpa pikir panjang, gue putar balik motor gue dan berhenti dengan jarak sekitar 20 meter dari tempat dia berdiri. Keberadaan gue cukup tersembunyi dibalik gerobak bakso yang kosong. Gue berniat untuk nyamperin dia dan minta maaf untuk bercandaan gue yang nggak lucu. Tapi entah kenapa, kaki gue nggak bisa bergerak, gue takut untuk ngelakuinnya. Gue nggak inget sejak kapan gue jadi cemen gini sama orang.

Akhirnya gue tetep di atas motor dan nungguin sampe dia di jemput. Selama 15 menit sebelum akhirnya dia dijemput, dia tetep berdiri di sana diam nggak bergerak. Membuat gue sepuluh kali lipat lebih merasa bersalah dari sebelumnya.

Seminggu dua minggu dan akhirnya lebih dari satu bulan berlalu, gue nggak pernah lagi ketemu sama anak perempuan  itu. Gue terlalu terlalu sibuk sama ujian kenaikan kelas yang bertubi-tubi, sukses membuat gue jadi anak cupu yang cuma bisa sekolah-les-pulang.

Tapi yang terpenting sekarang, gue udah bisa libur panjang. Hal yang selama ini gue nantikan untuk bisa liburan ke rumah gue di Jakarta. Hari itu sebelum berangkat ke Jakarta, di sela-sela mengepack barang-barang yang akan gue bawa , ada selembar kertas kecil terselip dibawah baju. Gue mengambilnya dan membacanya sekilas, gue ingat_gue sendiri yang menggunting nama itu dari lembar kertas absen peserta lomba kaligrafi. Secara nggak sadar, gue tersenyum setelahnya. Gue lipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam dompet.

Siapa sangka, kertas dengan ketikan tulisan “ ANANDA NABILA JASMINE - Nomor : 2116099 “ itu jadi awal keberuntungan gue.


***


Kira – kira udah hampir sejam gue berlari-lari di lorong main kejar-kejaran sama adek gue, kita berdua terlalu excited dengan liburan kali ini sehingga tiada hari tanpa main. Mungkin karna udah terlalu lelah adek gue akhirnya masuk ke rumah dan memutuskan untuk main hotwheels di dalam. Sebelum bergabung dengan adek gue di dalam, gue menyempatkan untuk melihat keadaan di bawah dari balik kaca gedung. Gue berada di lantai cukup tinggi untuk dapat melihat hiruk pikuk kota Jakarta di siang hari.

Semenit dua menit gue terbawa suasana jalanan Jakarta yang macet meski gue hanya bisa ngeliat dari atas. Sampe akhirnya gue dikejutkan dengan suara pintu yang dibanting keras. Gue berbalik, gue liat seorang anak laki-laki yang mungkin seumuran sama gue tapi mungkin juga beberapa centi lebih tinggi, memakai t-shirt abu-abu dengan celana panjang putih polos. Dia berjalan menunduk menuju lift setelah membanting pintu. Gue pikir dia pasti lagi ada masalah, karna gue berdiri nggak jauh dari lift tapi dia seakan nggak menyadari keberadaan gue disitu.

Selama beberapa detik gue perhatiin dia yang cuma berdiri di depan pintu lift yang tertutup dan nggak menekan tombol up atau down sama sekali. Gue yang waktu itu masih sangat kekanakan, berjalan perlahan mendekati. Setelah jarak yang cukup dekat, gue yakin gue mengingat seseorang. Seseorang  yang belum pernah gue kenal.

Gue berjalan lebih dekat lagi ke belakang anak laki-laki itu berdiri. Dengan gerakan cepat gue tutup mata dia dengan dua tangan gue melingkari kepalanya. Gue semakin yakin, sedaritadi dia nggak menyadari kehadiran gue disitu. Dia tampak kaget dan berontak, “Woi siapa ni!?”. Gue berusaha sekuat mungkin untuk nggak lepas dari berontakannya. “Eh kalo mau nyulik dari depan dong! Cemen lu. Sini berantem sama gue. Gue nggak takut!” dia terus meronta. Dan gue nggak kuat lagi nahan. Iyalah gue cewek, kemampuan terbatas.

Akhirnya tangan gue berhasil lepas, dia segera berbalik sambil berulang kali mengerjapkan mata. Gue tertawa lepas dan menepuk-nepuk lengan kanannya karna lengan yang lain dia pakai untuk terus mengucek matanya.


***


Dengan kedipan terakhir akhirnya gue yakin, itu dia! Sekarang dia lagi berdiri dihadapan gue sambil ketawa renyah. Tapi, kenapa dia bisa ada di sini?

“Kok lu bisa ada di sini?”

Masih dengan senyum lebar, dia menjawab “Kaget yaa?”

Gue mengernyit, sebenernya gue nggak peduli alasan kenapa dia bisa ada di sini. Tapi yang jelas, gue lebih dari seneng bisa liat dia di sini, di saat orang tua gue lagi-lagi berantem. Tiba-tiba tangan gue ditarik selagi gue masih bengong ngeliatin dia. Dia bawa gue lari melintasi lorong sambil terus menggandeng tangan gue.

“Liat nih, baguskan” kata dia. Kita berhenti di ujung lorong dan memandang bagian belakang gedung dari balik kaca. Dari situ kita bisa liat beberapa orang yang lagi berenang, anak-anak kecil yang lagi main di taman, para pekerja yang sibuk lalu lalang di kendaraannya masing-masing dan masih banyak hal lain yang bisa diperhatiin.

“Kalo kacanya bisa dibuka, aku mau dorong kamu dari sini” dan.. Wo!! Dia ngagetin gue seakan mau jorokin gue dari situ.  Gue kaget beneran dan dia malah lari sambil ketawa puas. Merasa terzolimi akhirnya gue kejar dia mencoba untuk balas dendam.

Dari sinilah awal kita akhirnya berteman. Kita jadi sering main bareng karna ternyata kita tetangga. Masa liburan gue jauh lebih baik dibanding tahun lalu. Gue punya tempat nyaman untuk gue pulang selain rumah. Dan berita baik lainnya, di kota Semarang, gue juga bisa terus main bareng sama dia karna dia diterima di sekolah yang jaraknya dekat dari tempat gue tinggal.


Part 1 – end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar