Cerita ini terjadi ketika gue berada dalam masa transisi naik
ke kelas 12 dan akan berusia genap 17 tahun. Gue ingat, masa itu adalah masa
dimana gue memupuk banyak cerita cinta. Gue yang mulai enjoy dengan status
kejombloan gue, cerita sahabat jadi cinta gue dengan Ilham, pengalaman gue yang
jadian singkat dengan teman sekelas gue sendiri dan bahkan masa dimana gue
pertama kalinya jadian dengan mantan gue yang terakhir.
Tapi, gue nggak akan bahas itu satu persatu, karna blog ini dikhususkan untuk cerita tentang gue dengan sahabat terbaik gue, Alvin.
Sebelumnya gue minta
maaf kalo part dari setiap cerita
yang gue tulis selalu berlatar belakang liburan semester. Karna potongan –
potongan kisah dengan Alvin yang bisa gue certain terjadi ketika gue sedang
intens bertemu dengan Alvin dan itu hanya saat gue ataupun Alvin sama – sama
sedang liburan. Sebenernya nggak liburan pun, gue tetep ketemu sama Alvin. Cuma
intensitasnya nggak sesering saat liburan. Mungkin hanya 2 atau 3 hari dalam
sebulan, itupun selalu Alvin yang sengaja datang ke Semarang untuk menemui gue.
Hari itu gue duduk dengan malas di sofa, membaca sebuah novel
tentang Bajak Laut dan sesekali mengamati seruan Alvin bersama adek gue
memainkan sebuah game playstation. Udah lebih dari sejam gue
berada pada posisi yang sama dan melakukan pekerjaan yang sama. Gue mulai bosan.
Gue bergerak membungkuk untuk menjangkau ponsel yang gue letakkan di atas meja.
Ada beberapa notif masuk dari teman – teman , dan gue langsung kegirangan
begitu gue buka chat dari Edho untuk
ngajak main_ini yang gue tunggu dari tadi.
“Vin!” gue berseru berniat segera memberitahu Alvin tentang
kabar baik ini. Gue dan Alvin, sama – sama girang kalo diajak main. Tapi Alvin
cuma berdehem keras sambil terus sibuk memainkan gamenya.
“Dih, Vin” gue sewot. “Ini ada kabar bagus”
Dengan pandangan masih tertuju pada layar TV, Alvin menyahut, “Kabar bagus apaan?”
“Si Edho ngajakin ke Si**u Ka**e, katanya hari ini dia yang nraktir” balas gue ceria.
Alvin dengan cepat menoleh ke gue, dan dalam sekejap membuat adek gue berteriak histeris kalo dia baru aja ngalahin Alvin.
“Edho? Kok dia bisa ngajakin lo?” tanyanya kemudian.
“Lah, ya bisalah. Pertanyaan lo aneh. Ini tadi chat gue, ada Farhan sama Eric juga ntar. Jam 7 Edho jemput ke sini, dia suruh ajakin lo juga. Mau nggak?”
Alvin kembali menoleh ke game dihadapannya. “Gue ikut. Tapi lo berangkat sama gue aja kayak
biasanya, gue nggak mau dijemput-jemput gitu”
“Berarti gue bilang ke Edho ya, kalo gue langsung ke sana aja sama lo?”
“Iyee. Satu pertandingan lagi deh, habis ini gue siap – siap”
--
Dua jam berikutnya gue udah ada di antara cowok – cowok beken
yang bikin gue merasa seperti Raja dengan dayang – dayangnya. Malam itu kita
menghabiskan waktu sekedar untuk ngopi, ngobrol panjang ditemani beberapa
camilan, dan saling bercanda melepas tawa. Tapi hanya gue yang sadar kalo beberapa
pengunjung wanita di cafĂ© itu terutama anak – anak abg gaul yang bergerombol,
mencuri – curi pandang ke meja kita. Bukan hal yang mengherankan sih memang,
melihat gue duduk di antara cowok yang tampangnya nggak bisa dibilang sekedar
standar. Walaupun setelah kalian kenal satu persatu akan terlihat sifat
ngeselinnya. Huh.
Farhan, cowok blasteran arab – betawi yang punya hidung dan
alis nggak woles, bisa bikin cewek berenti beraktivitas kalo dia lewat. Eric,
punya tampang babyface dengan rambut
ikal yang sukses membuat orang selalu salah menebak jauh di bawah umur aslinya.
Edho, cowok yang menurut gue punya tampang idaman dan selalu berhasil bikin
jantung cewek berontak kalo liat senyum yang berkembang di antara kedua lesung
pipinya. Terakhir, Alvin, meski gue sahabat lamanya, gue nggak bisa boong kalo
Alvin itu cakep. Dengan pembawaannya yang selalu santai dan ceria, ada efek
tersendiri yang bikin orang selalu pengen perhatiin dia dari atas sampe bawah.
Oke, cerita ini mulai ngelantur, sadar atau enggak tulisan ini seakan membawa
peran gue menjadi Shan Cai di film Meteor
Garden.
Ditengah – tengah kita lagi asyik ngobrol, tiba – tiba Alvin
merogoh sakunya dengan buru – buru. Secara reflek kita semua memperhatikan.
Alvin mengeluarkan ponselnya yang menyala dan meringis sekilas, “Entar ye, gue
ada telfon” katanya kemudian berlalu. Dua menit kemudian Alvin kembali tapi
nggak langsung duduk ke kursinya.
“Sorry, gue harus cabut sekarang. Ada sodara yang harus gue jemput di bandara” kata Alvin.
“Ah nggak asik lo. Masih pagi nih” Eric menyahut setengah bercanda. Alvin hanya menanggapinya dengan senyuman dan memungut kunci mobil yang ia geletakkan di atas meja.
“Yaudah – yaudah, bro. Duluan aja. Kayaknya penting juga. Nanti biar Nabil gue yang anter pulang” Edho menyahut bijak.
Alvin mengernyit ke gue, “Lo nggak mau ikut gue pulang?”
Gue mendelik dungu, antara gue masih pengen ngobrol bareng mereka_sama takut kalo gue nggak pulang bareng Alvin. Selama ini kalo gue out sama Alvin, gue selalu pulang bareng dia karna dia satu – satunya orang yang dipercaya nyokap. Melihat gue yang masih diem aja, Farhan menambahi, “Biar aja si Nabil di sini, kan ada Edho. Lagian masih jam segini, tuh orangnya juga masih betah”
Gue bersorak dalam hati karna Farhan berhasil mewakili jawaban yang gue ingin katakan. Dan selain itu, gue seneng udah kebayang duluan bakalan pulang sama Edho. Gue emang belom cerita ke Alvin kalo gue mulai ada feeling ke Edho. Gue cuma belom yakin aja sama perasaan gue, dan gue berencana untuk nyeritain tentang hal ini ke Alvin kalo gue udah bener – bener dapet feel yang kuat.
***
Gue menghembus nafas pendek dan berganti memandang dia dengan
lembut.
“Lo pulang sekarang aja ya, sama gue. Gue kan yang ijin ke mama, gue yang bawa lo pergi jadi gue juga yang harus balikin lo ke rumah”
Gue liat Farhan, Eric dan Edho memandang gue bergantian dengan ekspresi seakan berkata “Sob, lu udah kaya bapaknye ye”. Dan disisi lain, cewek berkuncir kuda dengan overall skirt selutut duduk bersandar dengan bibir yang ditekuk seperti mangkuk. Gue jadi bener – bener seperti Bapaknya sekarang.
“..please, Bil..” kata gue sedikit memohon.
Dan akhirnya gue sukses membuat dia berpamitan dengan yang
lain dan ikut gue untuk jemput sepupu gue di bandara. Selama perjalanan, dia
banyak diemnya. Dan gue tau, kalo udah begitu berarti dia lagi bĂȘte. Bukan
maksud gue untuk overprotective ke
dia, tapi nyokapnya udah ngasih tanggung jawab besar ke gue buat jagain dia.
Dan juga bukan berarti gue nggak percaya sama temen – temen gue, tapi justru
karna gue lebih lama kenal mereka jadi gue tau apa yang seharusnya gue lakuin
untuk kebaikannya.
“Besok kita main lagi deh” kata gue begitu tiba di depan pintu rumahnya. Langkahnya terhenti dan menoleh ke gue senang. “Kita nonton besok rame – rame, mau?” lanjut gue tanpa rencana hanya demi melihat senyumnya kembali.
“Serius?” sahutnya antusias.
Gue mengangguk kecil dan tersenyum mengiyakan. Melihat itu, dia sedikit berjinjit dan dengan girang menepuk – nepuk kedua pipi gue.
“Ye ye. Akhirnya gue diajak nonton” katanya. “Oke deh, see ya tomorrow!”
Dan ia pun berhambur masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya say good night dulu ke gue. Gue melangkah meninggalkan pintu rumahnya dengan menghela nafas panjang.
***
Siang itu gue bergelung malas di bawah selimut sambil
mendengarkan playlist music di ponsel
gue dengan menggunakan earphone. Satu
jam yang lalu Alvin menelpon untuk mengabarkan bahwa hari ini kita batal nonton
karna Alvin harus ke Bandung dengan sepupunya kemarin, selain itu si Farhan dan
Eric ada pertandingan basket sore itu juga. Nggak ada yang bisa gue lakuin
sampe seseorang ngajak gue out, seenggaknya
untuk sekedar makan.
Tanpa sadar gue pun tertidur siang itu. Dan mendapati waktu
sudah menunjukkan pukul 4 sore ketika gue membuka mata. Gue duduk bersandar di
tepi ranjang, mengayun – ayunkan tangan gue untuk mencari ponsel. Gue membuka lock setelah mendapatkannya dan menyipit
karna terangnya screen ponsel. Ada
beberapa notif di blackberry messenger dan
mulai gue scroll satu persatu untuk
memprioritaskan mana yang harus gue balas. Ibu jari gue terhenti pada satu list chat dengan display name “Edho Fikrayasa”. Gue segera membuka isi pesan dari
Edho tersebut,
Yang lain
nggak bisa, kalo kita berdua aja mau nggak?
Gue nggak chat apa
– apa sebelumnya dengan Edho, jadi ketika gue baca isi pesan tersebut dahi gue
agak berkerut sebentar. Dan pesan itu masuk sekitar satu jam yang lalu ketika
gue sedang pulas tidur. Gue berpikir beberapa saat untuk mencerna maksudnya,
lalu dengan ragu gue balas,
Nonton
maksudnya?
Gue sengaja nggak menutup tampilan chat gue dengan Edho, gue menunggu sampai dia mereply pesan dari gue. Dan nggak lama
huruf D di sana berubah menjadi huruf R yang berlanjut ke is writing a message.. percaya atau enggak, tulisan itu selalu
bikin gue deg – degan.
Yes.
Sekalian dinner maybe?
Begitu isi balasannya. Membuat ibu jari gue terasa kaku
seketika dan nafas gue tertahan beberapa saat. Edho, ngajakin gue jalan.
--
Gue dan Edho
keluar cinema sambil sesekali tertawa
membahas beberapa adegan lucu di film tadi. Berulang kali pula Edho
melingkarkan tangannya ke bahu gue sekedar membiarkan orang di belakang kita
untuk berjalan mendahului. Sejak tadi gue terus berusaha mengatur nafas agar
gue nggak terlihat nervous oleh Edho.
Edho membawa gue ke satu tempat makan di dekat mall itu untuk
mengisi perut yang otomatis terasa lapar ketika selesai nonton. Kita duduk di
meja dekat pintu masuk yang merupakan satu –satunya meja tersisa karna meja
lainnya penuh. Akhirnya gue menyantap makan malam gue di situ dengan Edho duduk
di hadapan gue dan nggak sedikitpun kehabisan topik pembicaraan di antara kita.
Gue senang bisa sedekat ini akhirnya dengan Edho. Gue nggak pernah ngira dia bakal ngajakin pergi berdua doang kayak gini karna selama ini kita selalu pergi bersama – sama dengan yang lain. Saat itu gue hanyut dalam kenyamanan bersama Edho sampai gue nggak sadar waktu hampir menunjukkan pukul tengah malam. Ketika Edho beranjak ke cashier, gue buru – buru mengecek ponsel gue. Dan benar dugaan gue, missed call sebanyak 17 kali terpampang paling atas dinotif bersamaan dengan chat – chat yang sedari tadi gue abaikan. 2 kali missed call dari Mom dan 15 kali missed call dari Alvin.
Melihat missed call dari
Alvin lebih banyak, gue yakin pasti nyokap udah lapor ke Alvin kalo gue belom
juga pulang. Buru – buru gue buka blackberry
messenger dan segera membuka pesan dari Alvin.
Lo dimana? 22:13 pm
PING!!! 22:14
pm
PING!!! 22:14
pm
Woi lo
ngilang sama siapa? Gak pamit mama? 22:27
pm
PING!!! 22:30
pm
PING!!! 22:31
pm
PING!!! 22:31
pm
Bil. Lo
kemana sih!!? Sama siapa lo??! 22:51
pm
Dih ni anak,
angkat telfon gue!! mama nyariin!! 23:00
pm
Anj*ng. WOI
DIMANA LO!!!! 23:09
pm
Seketika jantung gue makin bergetar nggak karuan, bukan lagi karna Edho. Tapi karna Alvin. Ketika Alvin udah mulai marah dan ngomong kasar ke gue, itu berarti titik kesalahan gue udah di ambang batas. Gue harus siap kena omelan panjang dari nyokap dan Alvin sekaligus. Lo nggak akan pernah tau rasanya dimarahin orang sabar kayak Alvin_serem, men.
Baru aja gue mau mereply
chat dari Alvin, tapi dia keburu nelfon gue. Gue yakin dia liat gue udah meread pesan darinya sehingga memutuskan
untuk langsung nelfon. Dengan cemas gue geser layar untuk menjawab panggilan
dari Alvin itu.
“DIMANA LO ANJ*NG!” serunya dari seberang. Ini bukan pertama kalinya gue denger Alvin kasar ke gue, tapi gue tetep aja takut. Dengan nada serendah mungkin gue jawab,
“Gue di resto deket pim, baru kelar makan. Ini mau pulang.. tadi lagi nonton sorry hapenya gue silent”
Sembari ngomong, gue liat Edho udah duduk lagi dihadapan gue. Dengan segera gue isyaratkan dia untuk diam.
“Lo punya mulutkan? Kenapa nggak pamit mama tadi? Sekalian aja buang hape lo tuh, nggak ada gunanya punya hape. Susah dikontak” dengan sabar gue mendengar omelan Alvin dari telfon.
“Pulang sekarang. Gue tunggu lo di depan pim. Lo pergi sama Edho, kan?”
Gue terkejut sebentar. Yang pertama, karna Alvin yang tadi pergi ke Bandung tiba – tiba udah ada di depan pim dan yang kedua, darimana dia tau gue lagi sama Edho?
“..kok.. lu tau gue lagi sama Edho..?” Mendengar namanya disebut, Edho menaikkan kedua alisnya dan menatap gue bingung.
“Nggak usah ngalihin pembicaraan. Ke sini sekarang!” dan tuut.. tuut.. tuut.. telpon terputus.
Gue yang menatap layar ponsel gue berganti menatap Edho dengan ragu. Gue harus bilang apa sama Edho? Edho terlihat menunggu gue berbicara. Gue menarik nafas pendek.
“..Dho, sorry. Gue
kayaknya nggak bisa pulang sama lo deh..”
“Loh, kenapa? Nggak apa – apa gue anter. Ini kan udah malem banget, emang lo mau naik apa? Taksi?” responnya cepat.
“..eh.. ehmm.. itu.. Alvin.. nunggu gue di deket sini.. dia jemput gue karna disuruh nyokap..”
Gue lihat Edho diam sejenak mendengar jawaban gue barusan.
“Kalo gitu gue ikut nemuin Alvin, gue bisa bantu lo jelasin. Sekalian gue mau minta maaf ke nyokap lo karna udah ngajakin lo pergi sampe larut malem gini”
Gue menggeleng cepat. Gue paham banget sama Alvin, ketika dia lagi emosi kayak gitu dia bisa amat sangat ganas dengan cowok. Bukan maksud gue mau ngebelain Edho karna gue suka sama dia, tapi karna gue nggak mau mereka berantem.
“Jangan. Maksud gue.. nggak usah..” kata gue lirih. “..nyokap gue nggak apa – apa. Em.. mama cuma ngerasa lebih aman kalo gue pulang sama Alvin. Kan.. kita tetanggaan, gitu”
“..Oh..” Edho mengangguk perlahan. “Oke gue ngerti” katanya kemudian.
“..sorry ya, Dho..”
“Kenapa sorry? Gue yang harusnya minta maaf nggak bisa anter lo pulang, padahal gue yang ajak lo pergi”
Kita melangkah keluar, Edho memutuskan untuk mengantar gue sampe trotoar depan resto.
“Thanks ya, udah mau nemenin gue malem ini” Edho menghentikan langkahnya. Dia menarik pelan pergelangan tangan kiri gue untuk membuat gue berhadapan dengannya. Gue mengangguk dan tersenyum sejenak lupa bahwa sebentar lagi gue akan mendapat masalah.
“Next time kita jalan bareng gini lagi, bisa kan?” lanjutnya.
“Why not?” sahut gue.
Dan adegan ftv itu dimulai. Bukan gue yang kepedean, tapi
suasana ini bisa ditebak oleh siapapun. Perlahan Edho meraih kedua tangan gue
yang sedari tadi dingin karna gugup. Nafas gue tertahan beberapa detik sebelum
akhirnya memberanikan diri untuk menatap senyuman Edho.
“..gue.. mau bilang sesuatu, Bil..” katanya sengaja diputus. Gue menggigit bibir bawah gue karna semakin gugup. Dan dalam detik – detik yang terasa panjang itu kita masih saling diam.
“..gue itu.. ee..” genggaman tangannya terlepas. “Alvin!?” seru gue begitu tau gue ditarik Alvin.
Dengan cepat gue bisa liat ekspresi muka Edho yang kaget
sekaligus bengong, gue yang semakin nggak bisa berkata – kata mulai berjalan
menjauh dari tempat Edho berdiri. Begitu menyambar tangan gue dengan kasar,
Alvin menarik gue pergi dari situ tanpa sepatah katapun. Gue hanya bisa menurut
tanpa perlawanan, membiarkan pergelangan tangan kanan gue dicengkram erat oleh
Alvin.
Perjalanan ke rumah menjadi terasa sangat amat panjang. Sejak
tadi Alvin hanya diam dan menyetir, sedikitpun nggak mengalihkan pandangannya
dari jalanan sepi di depan. Dibalik rasa takut gue sama Alvin saat itu, gue
juga merasa kesal karnanya. Gue kesal karna Alvin telah menggagalkan skenario
ftv yang gue yakin happy ending. Gue
juga kesal karna ngerasa Alvin overprotective
ke gue soal ini.
Dan gue lebih kesal karna Alvin nggak ngajak ngomong gue daritadi.
Dan gue lebih kesal karna Alvin nggak ngajak ngomong gue daritadi.
“Lo udah kaya Bokap gue tau nggak” kata gue akhirnya berani berbicara. Gue liat Alvin hanya melirik gue kilas tanpa menyahut kata – kata gue.
“..gue kan udah gede, Vin. Gue bisa jaga diri”
“Kayak gini yang lo bilang bisa jaga diri!?” sahut Alvin setengah membentak.
“Emang kenapa sih? Apa salahnya gue pulang malem? Kan gue pergi sama orang yang lo kenal dan dia mau nganter gue pulang kok, nggak biarin gue pulang sendiri. Yakan?” gue segera menyusun argument. “Kalo gue main sama Mila atau Dinda, lo nggak seprotect ini juga. Padahal gue juga pulang malem kalo sama mereka”
“Lo nggak ngerti maksud gue sih!” Alvin memotong cepat.
“Lo yang nggak ngerti, Vin!” Alvin diam seketika, gue mulai menarik nafas panjang. “Lo nggak ngerti.. tadi itu..” kata gue terputus.
“Apa? Edho mau nembak lo?”. Gue menoleh cepat ke Alvin, dan yang gue tatap hanya diam memandang lurus ke depan. “Yakan? Terus lo mau terima langsung gitu?” lanjutnya. Emosi gue memuncak. Entah kenapa pernyataan Alvin bikin gue tersinggung. Entah karna nadanya seakan meremehkan Edho atau karna dia seakan sedang menilai gue gampangan.
“Lo kenapa sih!?” seru gue. “Emang kenapa kalo iya!? Lo mau
ngatain gue apa!? Bukannya lo yang nyuruh gue move on? Gue udah coba! Terus salahnya dimana?!” gue benar – benar
kesal.
“Jangan sama Edho” sahut Alvin, kini terdengar lebih lunak.
“Emang kenapa? Gue kan udah kenal Edho. Dia baik, dewasa, bisa bikin gue..”
“Gue lebih kenal Edho daripada lo” Alvin memotong, masih dengan nada yang rileks.
Gue menggeleng, menahan air mata gue yang sedari tadi ingin tumpah. Gue paling nggak bisa debat, selalu aja bikin gue nangis.
“..gue nggak ngerti lagi, Vin, sama lo.. lo sendiri yang bilang nyuruh gue buat move on. Gue udah berhasil nyoba dan lo sukses ngehancurin itu semua. Gue jadi nggak mood lagi buat itu. Entah apa rencana lo sebenernya, gue nggak paham” air mata gue mulai menetes.
Ada jeda diantara itu sebelum akhirnya Alvin berbicara. Jeda yang cukup panjang untuk terus meneteskan air mata karna kesal.
Alvin mendesah singkat.
Dan diantara tangisan gue itu, dia berkata,
“Gue suka sama lo”
Gue berkerut, kembali menahan air mata gue tanpa mendongakkan
kepala gue untuk menatap laki – laki di sebelah gue ini. Gue hanya diam. Diam
dan diam.
“Gue suka sama lo lebih dari sekedar sahabat..”
Gue sadar kalo kita udah sampe di parkiran tapi nggak ada satupun diantara kita yang berniat turun.
“..gue nggak tau dari kapan perasaan ini datang ke lo. Tapi yang jelas gue nggak suka liat lo perhatian ke cowok selain gue. Gue nggak suka lo punya pacar. Ada perasaan takut ketika lo pergi sama cowok. Nggak ikhlas kalo senyuman lo itu buat cowok lain selain gue..”
Alvin menghentikan kata – katanya. Dan gue, sekali lagi, cuma bisa diam. Ada keheningan yang cukup panjang setelah itu. Gue sama sekali nggak nyangka Alvin bilang itu semua ke gue. Gue pikir dia udah anggep gue kayak sodara sendiri dan guepun berusaha melakukan hal yang sama. Alvin udah terlalu lama ada dihidup gue dan gue nggak mau dia punya perasaan kayak gitu. Sama sekali nggak berharap.
“..Vin..” gue mulai bicara. “..kita udah sangat – sangat lama
kenal.. gue paham lo kayak gimana begitu juga sebaliknya..”
“.. sejujurnya gue juga nyaman kalo ada lo di sisi gue. Gue ngerasa punya super hero sendiri untuk ngelindungin gue.. lo udah ngelakuin lebih dari apa yang orang lain tau”
Alvin hanya diam mendengarkan setiap kata yang gue utarakan. Perlahan gue mencondongkan badan gue untuk menatap Alvin yang masih aja bersandar memandang ke depan.
“..gue juga suka sama lo, Vin..”
Alvin menoleh tanpa instruksi. Gue tangkap ekspresinya yang terkejut tapi belum berbicara apa –apa. Untuk beberapa detik kita saling pandang. Dan gue memberanikan diri untuk mengatakan semuanya.
“..sama..” kata gue. “..gue juga punya perasaan sama kayak
lo. Gue suka sama lo layaknya gue jatuh cinta sama orang lain. Sejujurnya
kadang gue suka gugup kalo lagi berduaan sama lo kayak sekarang ini misalnya”
Dengan badan yang tetap bersandar, Alvin masih menatap gue seakan tak ingin melewatkan sedetik aja ekspresi gue ketika mengatakan semuanya.
“..tapi karna itu.. justru karna itu.. gue nggak mau lo tau. Gue nggak mau perasaan ini terus ada. Selalu gue coba untuk ngilangin dan ngelupain ini, gimana pun caranya. Sekarang.. lo malah bilang gitu ke gue.. lo bilang perasaan yang sama kayak gue.. gue jadi takut..”
“..gue nggak mau, Vin.. nggak mau.. gue bener – bener butuh lo. Gue selalu berharap lo terus menjadi bagian hidup gue sampe kapanpun.. Pacaran bisa putus, Vin.. tapi gue yakin sahabat akan selalu ada. Gue nggak siap kalo suatu saat harus putus hubungan dari lo, dan gue yakin.. lo punya pemikiran yang sama..
“Em.. kita.. menurut gue.. Kita harus bisa ngilangin perasaan ini, Vin.. Gue mau kita terus kayak gini.. terus sama – sama, terus saling support, saling care.. I hope.. you can understand… You know it so well” gue mengakhiri pembicaraan.
Sekarang gue hanya menunggu respon dari Alvin yang kembali
menatap ke depan setelah gue selesai berbicara. Di dalam sana, dalam
pemikirannya sekarang, gue yakin Alvin sedang mempertimbangkan semua yang udah
gue katakan. Gue yakin, apa yang gue utarakan adalah hal terbaik untuk kita. Gue
sangat yakin.
***
I see, bro. If anyone ask about you and her,trust me that Im the one partner who can tell them anything. I know you so well.. just be honest. You’ve been so long keeping this secret from her. Lets say, optimistic about it. You’ve known each other for along time then it would make easier, I mean.. you already understand each other. So, what do you waiting for?
Sudah berulang kali laki – laki muda bertubuh tinggi dengan
rambut model berantakan itu membaca isi pesan dari email yang didapatnya satu
jam lalu. Tapi tak sedikitpun jarinya bergerak untuk menekan simbol reply dibagian bawah tampilan pada layar
ponselnya. Dia mendengus kesal sembari melemparkan ponsel ke sofa di samping
tempatnya duduk. Rambutnya yang memang mengikuti style acak – acakan semakin sempurna setelah ia mendekap kepalanya
sendiri karna merasa sangat frustasi.
Dari sudut matanya yang tipis, ia melirik layar ponsel yang
tergeletak dengan layar masih menyala. Laki – laki muda itu memutuskan untuk
memungutnya kembali dan memainkan jari – jarinya di atas layar ponsel tersebut.
Untuk beberapa saat ia terlihat diam, terpaku pada layar ponsel di tangannya
yang semakin membuat pikirannya berkecamuk. Namun perlahan senyum manis itu
terulas pada wajahnya yang bersih menenangkan. Ibu jarinya mengusap satu wajah
yang tersenyum lebar dalam sebuah foto pada galeri ponselnya, seakan menjadi
alasan mengapa ia ikut menyungging senyum saat ini.
Pada foto itu terlihat sosok laki – laki berkaus putih polos lengan panjang melingkarkan satu lengannya di bahu perempuan tepat di sebelah kirinya yang mengenakan model kaus serupa. Keduanya tampak tersenyum bahagia, sangat terasa meski hanya sebuah foto.
Pada foto itu terlihat sosok laki – laki berkaus putih polos lengan panjang melingkarkan satu lengannya di bahu perempuan tepat di sebelah kirinya yang mengenakan model kaus serupa. Keduanya tampak tersenyum bahagia, sangat terasa meski hanya sebuah foto.
Laki – laki muda itu sedang hanyut dalam khayalannya ketika
layar ponselnya berubah tampilan diiringi getar karna sebuah panggilan masuk.
Terjadi percakapan singkat yang sukses menambah beban pikirannya sore itu.
Dengan gerakan terburu ia menatap arloji di tangan kanannya dan segera berdiri
meninggalkan ruangan itu.
Empat jam kemudian, dia sampai di sebuah apartemen di lain
kota dan masih dengan gerakan terburu naik ke tempat yang dia tuju. Sesampainya di depan pintu
bertuliskan “Q – R / 31” dia mengetuknya beberapa kali. Tak butuh waktu lama
untuk menunggu, seseorang membukakan pintu itu untuknya dan keduanya segera
masuk.
Terjadi percakapan diantara keduanya, tidak dalam suasana tegang memang, tetapi hal ini membuat laki – laki muda itu terus menerus menggunakan ponselnya seraya berbicara dengan seorang wanita paruh baya di hadapannya itu. Tampaknya ia berulang kali mencoba menelpon seseorang, tetapi dengan hasil nihil. Momen ini berlangsung cukup lama. Cukup lama sampai lawan bicaranya meninggalkannya duduk di ruangan itu beberapa kali dan kembali untuk memastikan keberhasilannya mencoba panggilan telpon yang dimaksud.
Laki – laki muda itu semakin gelisah disetiap membaca balasan
chat seseorang padanya dan hampir
tidak menghentikan aktivitasnya untuk menelpon setiap 10 hingga 15 menit
sekali. Ketika akhirnya mendapatkan informasi yang dibutuhkan, dia segera
bangkit dan berpamitan singkat pada wanita paruh baya tadi yang sedang duduk
menemaninya.
Dengan sedikit tekanan kakinya terus menginjak pedal gas
membawa mobilnya menembus jalanan malam itu. Tidak sampai setengah jam, dia
memarkirkan mobilnya di tepi jalan yang kosong dekat sebuah mall. Mall itu sudah sangat sepi, mengingat waktu
sudah hampir menunjukkan pukul tengah malam. Sampai pada saat panggilannya
terhubung, dia keluar dari mobil dan berbicara dengan nada cukup tinggi selama
beberapa menit.
Setelah percakapan pada telpon itu, dia mulai menunggu dan
menunggu. Dia duduk di atas kap mobil, kembali berdiri tegak, menatap layar
ponselnya yang menyala terang dan duduk lagi. Aktivitas itu berulang kali
dilakukannya, dan membuat kegelisahannya semakin di luar batas. Sampai pada
menit berikutnya, pada jarak lebih dari 50 meter dihadapannya, terlihat dua
orang yang sangat dikenalinya. Ia sedikit menyipitkan mata beberapa saat, dan
memutuskan untuk berlari kecil ke arah dua orang tersebut setelah melihat
sesuatu terjadi. Sesuatu yang amat dibencinya.
Selangkah, dua langkah, laki – laki muda itupun semakin dekat
dengan mereka_sepasang muda – mudi yang sedang bergandengan tangan. Bukan,
bukan, mereka tidak bergandengan tangan. Melainkan kedua tangan si perempuan
digenggam erat oleh lelaki dihadapannya. Lelaki yang tak tampak lebih tua dari
laki – laki muda tadi.
Tanpa berpikir panjang, laki – laki muda itu menyambar dengan kasar satu tangan si perempuan tersebut dan menariknya menuju mobil. Dia tak mengatakan apapun, bahkan si perempuan juga hanya bisa diam. Mereka berjalan cepat menuju mobil diiringi hembusan nafas yang terengah dan udara malam yang semakin menusuk.
Seperti yang telah ia duga, terjadi perdebatan cukup keras antara
dirinya dengan perempuan di sebelahnya. Laki – laki muda itu menahan sekuat
tenaga karna isi kepalanya terus menerus ingin mengeluarkan teriakan dari hati
setiap kali perempuan itu memberi pembelaan untuk lelaki yang bersamanya tadi. Dia berusaha menahan, menahan emosinya,
menahan ketidakberdayaannya oleh rasa cemburu. Meski dia terus menatap jalanan
di depan, matanya meluaskan pandang untuk memperhatikan perempuan yang tak
pernah berhenti membuatnya khawatir itu. Si perempuan tampak sedang meremas
ujung dress kuningnya, tertunduk meneteskan air mata. Laki – laki itu tau, dan dia
sangat paham bahwa perdebatan adalah hal yang selalu membuat perempuan itu
menangis.
Laki – laki muda itu menghela nafas panjang, dia sangat tidak tahan melihat orang yang selama ini menjadi prioritas, menangis karnanya. Ditatapnya perempuan itu sesaat, ia mengatur nafasnya agar lebih stabil dan mulai mengeluarkan teriakan hatinya dengan nada lembut,
“Gue suka sama lo”
***
Terjadi keheningan cukup panjang setelah itu. Gue memandang keramaian jalanan Jakarta dari balkon kamar sejak sepuluh menit lalu menempelkan ponsel ke telinga. Gue bisa mendengar desahan nafas cukup kuat dari seberang sebelum akhirnya berbicara,
“..talk first..” katanya. “Gue yakin dia nggak berani nemuin karna takut lo anggep dia bukan orang yang sama”
“But.. Ive the same think like you said..” sahut gue lirih.
“Nah. Kalo udah tau gitu, mau sampe kapan lo ikutan diem? Kalo nggak lo mulai sekarang, gue takut kecanggungan kalian akan lebih dalam. And that’s so bad, gue nggak mau kalian nggak sama – sama lagi”
Gue diem. Sejujurnya gue juga nggak nyangka pada akhirnya gue
sama Alvin bener – bener ada pada ‘jarak’ yang bukan dalam artian sebenernya.
Udah hampir seminggu, Alvin nggak dateng ke rumah gue dan begitu pula
sebaliknya. Gue nggak berani nemuin Alvin karna ngerasa kesalahan sepenuhnya
ada di gue. Karna tau gue masih aja
diem, Kavick kembali berbicara.
“Come on, baby. I know you can solve these very well..Remember how long are you be bestfriend. Jangan kalah sama masalah. Harusnya cinta membuat segalanya menjadi lebih baik.. bukan kayak sekarang gini. Okay?”
Dan satu menit kemudian, percakapan itupun berakhir. Gue
memandang layar ponsel yang menunjukkan wallpaper favorit gue_foto gue sama Alvin. Kavick bener,
seharusnya cinta membuat segalanya menjadi lebih baik. Gue terdiam beberapa
saat sebelum memutuskan untuk segera beranjak dari situ.
--
Gue mengetuknya beberapa kali, berdiri di depannya sambil menunggu ada seseorang yang mempersilakan gue masuk. Nggak berapa lama pintu itupun terbuka. Seseorang menyambut gue dengan sedikit raut wajah yang terkejut tetapi tidak menutupi bahwa ia benar – benar menginginkan kehadiran gue disitu.
“Ya ampun, kenapa baru dateng? Sini – sini masuk” sambutnya sangat ramah. Gue hanya tersenyum mengikutinya melangkah masuk kemudian duduk di sofa ruang tamu rumah itu.
“Alvinnya ada, Tante?”
“Ada, di kamar” dan raut wajahnya pun berubah menjadi sangat khawatir. “Udah beberapa hari ini Alvin lebih sering di dalem kamar. Tante jadi khawatir, takut dia kenapa – napa. Tante tanya kenapa, dianya diem sambil geleng – geleng. Padahal Abel tau sendiri anak itu mana bisa diem barang semenit aja”
Gue mengangguk – angguk setuju tanpa berkata apapun. Sedetik kemudian tangannya menggapai lutut gue dengan lembut, “Apa Alvin lagi patah hati?”. Seketika gue melotot, memandang nyokapnya Alvin_ Tante Lida, sambil memikirkan jawaban apa yang harus gue katakan.
“I.. iya.. mungkin, Tante” kata gue ragu. “..makanya Abel ke sini, Tante.. mau hibur Alvin biar lupa masalahnya..” dan dalam hati gue berkata, “maaf Tante.. ini semua gara – gara Abel”
“Nah iya, iya gih buruan Abel ke kamar sana” seru Tante Lida semangat. “Tante ke bawah ya, cari cokelat atau apa yang bisa dibeli buat bantu balikin moodnya Alvin”
Gue mengangguk tersenyum, “Oke, Tante. Alvin biar Abel yang nanganin” gue mengangkat ibu jari dan meringis lebar. Tante Lida tertawa dan menepuk dahi gue kilas, “Gih ke kamarnya” katanya kemudian berlalu.
Gue menghembus nafas panjang setelah tiba di depan pintu
kamar Alvin yang tertutup rapat. Gue merapikan rambut yang gue biarkan tergerai
dan menggosok – gosok kedua telapak tangan terlebih dahulu sebelum mengetuk
pintu kamarnya. Tidak ada jawaban terdengar setelah pintu itu gue ketuk
beberapa kali, bahkan setelah gue ketuk dengan keras. Akhirnya tanpa aba – aba,
gue buka sendiri pintu itu.
Dengan pintu yang terbuka setengah, gue bisa lihat kondisi
kamar yang gelap karna tirainya dibiarkan tertutup dan banyak barang
berserakan. Gue dapati Alvin sedang
duduk bersila di ujung tempat tidur, tertunduk dengan headset terpasang dikedua telinganya_ yang bikin gue jadi tau
kenapa dia nggak menjawab ketukan pintu sedari tadi. Dan sekarang gue yakin,
dia nggak menyadari keberadaan gue di ambang pintu saat ini.
Perlahan gue masuk, berjalan mendekatinya. Gue mengatur nafas
dan memberanikan diri untuk langsung duduk di sampingnya. Alvin nggak langsung
mendongak, gue perhatikan dia sedang terkejut dengan kepala masih tertunduk.
Gue terus perhatikan dia dan menahan untuk nggak bicara dulu. Dengan gerakan slowmotion, gue bisa liat Alvin
menggunakan kedua tangannya untuk melepas headset,
perlahan mengangkat kepalanya dan sekarang, kita saling pandang.
Gue tersenyum, tersenyum beberapa saat sambil menunggu Alvin merespon.
“How are you?” kata
gue akhirnya, karna Alvin terlalu terkejut untuk berbicara duluan. “Everythings ok?” tanya gue lagi. Alvin
masih diam, dia terus memandang gue.
“Youll be fine, Im here. And your mom going to buy some chocolate just to give you mood booster” gue tertawa ringan, sekedar untuk menunjukkan ke Alvin kalo kejadian seminggu lalu nggak merubah apapun.
Dengan gerakan cepat, Alvin mencondongkan badannya dan
memeluk gue erat. Gue terkejut, Alvin emang sering ngerangkul gue tapi dia
nggak pernah peluk gue kaya gini. Gue hanya diam. Diam dan menunggu Alvin
bicara.
“I miss you” katanya lirih. Begitu lirih sampai gue nyaris nggak mendengarnya.
“..Im sorry.. I only
thinked about my self, and forget how you feel..” Alvin terus memeluk gue
erat. “…and now.. I understand that what
I need just.. you.. I really wont you go.. I realized, friendship more than
anything..”
Mendengar itu, gue menghela nafas pendek dan perlahan membalas pelukannya.
“Vin.. Gue juga butuh lo..” kata gue. “..kita harus janji,
kalo kita bakal tetep sama – sama kayak gini.. gue lebih nyaman lo jadi sahabat
gue. Karna dengan begitu.. gue nggak perlu takut ada kata putus, nggak perlu
takut lo pergi.. sahabat nggak mungkin ngelakuin itu, iyakan?”
Alvin mengangguk dalam pelukan. “I promise…” sahutnya.
--
“Bukan yang itu bego, yang itu yang pake baju item!” Alvin
berseru ditelinga gue nggak kalah dengan kebisingan lain di sekeliling gue. Gue
yang kebawa suasana dengan emosi melakukan gerakan tangan menembak mengikuti
semua perintah Alvin.
“Itu di atas! Di atas lo tu ada tiga! Buruan!!” Alvin makin histeris. Gue semakin frustasi dengan permainan ini. “Ini pelurunya nggak keluar, nyet!” seru gue sambil menghakimi alat tembak yang sedang gue pegang.
“Di reload ,anying. Buruan! Keburu times over!”
“Yah kan.. kalah..” kata dia lesu. Gue membanting alat tembak itu ke tempat asalnya.
“Permainannya ngeselin” gue sewot. “Cari yang lain ah”
Sambil menarik beberapa tiket terangkai dari mesin, Alvin
mendongak ceria “Kita race car aja,
gue pilih sirkuit paling susah deh elo yang gampang”
“Kalah traktir es krim?” gue menantang.
“Siap!” jawabnya segera melingkarkan tangan ke bahu gue untuk mempercepat langkah menuju race car game.
Dan hari itu lah kita ngabisin waktu seharian untuk pertama
kalinya setelah saling diam selama seminggu. Baik gue maupun Alvin sama – sama
udah ngelupain kejadian itu. Kita juga udah sama – sama ngelupain tentang
perasaan kita. Seperti yang kita yakini, bahwa hanya dengan sahabat kita bisa
tertawa dan menangis tetapi tidak akan pernah berpisah. Dan Kavick mendukung
itu dengan sebuah quotes diakhir
emailnya.
Don’t walk behind him, he may not leads. Don’t walk in front of him. He may not follow. Just walk beside him and be his bestfriend.
Part 3 – end .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar